Don McCullin : Cerita Di Balik Potret Tentang Perang Dan Kemiskinan

Don McCullin : Cerita Di Balik Potret Tentang Perang Dan Kemiskinan – Selama pameran foto karya Don McCullin digelar di London, Fiona Macdonald menyaksikan beragam potret menakjubkan tentang perang dan kemiskinan yang diciptakan salah satu fotografer terandal Inggris.

“Mengapa Anda tidak berada di titik peristiwa terpenting di dunia jika sebenarnya Anda bisa ada di sana?” idnpoker

Kalimat itu diutarakan McCullin dalam wawancara dengan salah satu media Culture tahun 2014. Dia memaparkan alasannya menjelajah Berlin pada 1961 tanpa penugasan dari media massa manapun.

Don McCullin : Cerita Di Balik Potret Tentang Perang Dan Kemiskinan

McCullin berpindah bertujuan mendokumentasikan pembangunan Tembok Berlin yang kala itu masih berupa struktur beton sementara sebagai pos pemeriksaan tentara. https://www.benchwarmerscoffee.com/

Foto-foto tersebut belakangan menggenjot kariernya sebagai fotojurnalis dan mengirimnya ke konflik di berbagai tempat, seperti Siprus, Vietnam, Lebanon, dan Irlandia Utara. premiumbola

Ketika kini berumur 83 tahun, ia beralih menjadi fotografer yang mengabadikan lanskap Britania Raya. www.benchwarmerscoffee.com

Sering mempertaruhkan nyawa, McCullin tidak mundur dari peristiwa yang barangkali terlalu menyeramkan bagi sebagian orang – anak-anak bertubuh ceking yang kelaparan, sekelompok laki-laki yang disiksa sebelum dieksekusi, dan keluarga yang menangisi jenazah orang terkasih.

Banyak dari hasil potret itu ditampilkan dalam pameran di galeri Tate Britain. McCullin mencetak sendiri lebih dari 250 foto di kamar gelap.

Walau sebagian besar foto itu menyiratkan nestapa, ada sesuatu yang membuat kita sulit untuk tidak mengacuhkannya.

Dalam situasi tertentu, betapa dekat McCullin membawa kita – entah bagaimana, kita seperti terlibat hanya dengan melihat yang terjadi. Sekali kita melihat, kita tak dapat mengalihkan diri darinya.

Dan kedekatan itu adalah sesuatu yang disengaja.

“Saya tidak percaya Anda mampu melihat lebih dari apa yang terlihat jika Anda tidak mengambil resiko,” demikian pernyataan McCullin yang dikutip dalam pameran di Tate itu.

“Saya berkali-kali berada persis di ujung jurang, tidak lebih dari satu kaki atau satu inci. Itu adalah satu-satunya tempat di mana Anda bisa melihat dan menunjukkan penderitaan yang sesungguhnya.”

“Menyaksikan apa yang dihindari orang lain adalah inti dari hidup saya sebagai fotografer perang,” ujar McCullin.

Suatu foto yang diabadikan di Vietnam tahun 1968, yang memperlihatkan seorang laki-laki meluncurkan sebuah benda ke udara, mirip potret olahragawan.

Namun kenyataan di balik pose melempar granat itu menemani perjalanan pulang McCullin. “Dia terlihat seperti atlet lempar lembing Olimpiade. Lima menit setelah itu, tangan pendek nan kekar itu hancur lebur terkena peluru.”

Banyak foto disampaikan dalam satu baris judul dan kosa kata pribadi tentang bahasa tubuh.

Sebuah foto dari McCullin di Republik Biafra, yang diabadikan tahun 1968 ketika perang antara kelompok separatis dan pemerintah Nigeria memicu krisis kemanusiaan, menunjukkan tujuh anak kecil bertulang rusuk yang menonjol ke kulit, masing-masing dengan kertas yang menempel di dahi.

Foto itu dilengkapi dengan keterangan ‘mereka yang memilih untuk hidup’.

Pada foto dari konflik yang sama, juga dipotret tahun 1968, seorang laki-laki berseragam bersender ke tubuh rekan tentaranya. Telapak tangannya menunjukkan gestur perbincangan yang intim.

Namun bukannya tersenyum, tentara itu tidak terlihat mendengarkan. Pada deskripsi foto, McCullum menulis, “Saya melihat komandan itu membungkuk ke tubuh prajuritnya yang mati dan berbicara kepadanya seolah-olah sejawatnya itu masih hidup.”

“Dia menyanjung keberanian prajurit itu dan mengucap terima kasih atas nama Republik Biafra. Kejadian itu menyentuh sekaligus mengerikan,” ujarnya.

Keseimbangan antara keterkejutan dan juga kesedihan menjelaskan kekuatan banyak foto karya McCullin. Salah satu serial foto yang diambil di pedesaan imigran Turki di Siprus menghadirkan kepedihan yang amat dalam.

“Saya menemui dua laki-laki. Faktanya, ada seorang ayah dan dua putranya. Lalu sekelompok orang putus asa datang… Seorang perempuan masuk sambil berteriak.”

“Salah satu orang yang meninggal tersebut adalah suami barunya,” kata McCullin. Dia lantas meminta izin memotret, mendapatkannya, lalu berbegas mengabadikan momen.

“Saya mulai mengatur komposisi foto dengan cara yang sangat serius dan bermartabat. Itu adalah kali pertama saya memotret sesuatu yang besar seperti ini.”

“Saya akui sulit untuk tidak menitikkan air mata,” tuturnya.

Saat tahun 1971, majalah Sunday Time menugaskan McCullin ke Irlandia Utara. Konflik bersenjata di negara itu, yang dikenal dengan istilah Troubles, selalu terjadi di jalanan antara permukiman Katolik dan Protestan.

Sebuah foto McCullin menunjukkan anak-anak lelaki yang melarikan diri dari semprotan gas air mata, lalu melompati tembok berhiaskan grafiti. Foto tersebut menakutkan, seolah-olah diabadikan dari parit-parit medan tempur.

Foto lain menunjukkan seorang pemuda Katolik yang anehnya mengenakan setelah jas berdasi dan mengangkat balok kayu ke arah pasukan gas air mata. Komposisi itu memungkinkan kita melihat dua sisi tembok yang saling menutupi tersebut.

McCullin meyakini bahwa sangatlah penting untuk menyesuaikan tatapan terhadap hal-hal yang membuat kita tidak nyaman. “Anda harus kuat menyaksikannya. Anda tidak dapat berpaling begitu saja,” tuturnya seperti dikutip dari pengantar pameran.

Dan McCullin tidak berniat untuk berat sebelah. Potretnya mengenai marinir AS di Vietnam memperlihatkan gangguan stres pascatrauma bahkan sebelum keberadaan penyakit itu sepenuhnya diakui.

Ada nilai yang sepenuhnya mendorong McCullin untuk berkarya. “Kita tidak bisa dan tidak seharusnya diizinkan melupakan hal-hal mengerikan yang dapat kita lakukan terhadap sesama manusia,” ujarnya.

Bahkan saat mendokumentasikan kengerian yang amat sangat, McCullin berhadap dapat meyakinkan kita untuk tetap melihatnya.

Don McCullin : Cerita Di Balik Potret Tentang Perang Dan Kemiskinan

“Seringkali potret itu berisi kekejian. Namun saya ingin menciptakan suara bagi orang-orang yang ada dalam foto itu.”

“Saya ingin suara itu membujuk masyarakat untuk bertahan lebih lama ketika melihatnya, sehingga mereka tidak berpaling dengan ingatan menakutkan, melainkan kesadaran yang mengikat.”

Dan McCullin juga telah mendokumentasikan medan pertempuran lainnya. “Ada perang sosial yang berfaedah. Saya tidak ingin mendorong publik menilai fotografi hanya diperlukan untuk mengungkap tragedi dalam peperangan,” ujarnya.

Potret McCullin mengenai seorang gelandangan asal Irlandia yang diabadikan di London tahun 1970 merupakan salah satu karyanya yang paling terkenal.

“Saya tidak bertindak sebagai fotografer, tapi manusia,” begitu ia berkata melalui keterangan fotonya.

“Saya berupaya menyeimbangkan yang saya potret bukan sebagai fotografer, melainkan sebagai seorang manusia, seorang laki-laki, dan fotografi tak berhubungan sekali dengan itu.”

“Itu adalah hal yang saya pelajari. Ini hanya cara berkomunikasi,” katanya.

Semenjak akhir 1960-an hingga awal 1980-an, McCullin memotret orang-orang yang hidup di jalanan sekitar pusat industri keuangan London.

McCullin juga membawa kameranya ke komunitas yang tinggal di kawasan utara Inggris, yang tersingkir akibat kebijakan deindustrialisasi.

Dalam salah satu fotonya, seorang perempuan mendorong kereta api melintasi daerah yang terlihat seperti tanah kosong pada era kehancuran dunia.

Pada foto lainnya, seorang lelaki mendorong kereta bayi yang ditumpangi anak laki-laki yang kehilangan kaki akibat kecelakaan di tempat pembuangan barang tak berguna.

McCullin memilih untuk mendekat kepada subjeknya dengan empati, baik terhadap orang-orang yang tengah berkabung serta tentara atau orang-orang yang dimarjinalkan.

McCullin dideskripsikan sebagai ‘hati nurani berkamera’ oleh Harold Evans, editornya di Sunday Times. Dan dia sangat dikaitkan dengan berbagai potret yang diabadikannya.

Ayah dari McCullin wafat akibat penyakit kronis saat McCullin berusia 14 tahun. Dia tumbuh di keluarga miskin di sebuah kawasan di London yang hancur lebur ketika Perang Dunia II berkecamuk.

McCullin mengatakan, ia berempati pada banyak orang yang dipotretnya. “Saya mengetahui perasaan mereka. Ini bukan soal ‘saya merasa beruntung dan bersimpati pada mereka’ tapi ‘saya juga telah mengalaminya'”.

Sebuah foto awal dalam pameran di Galeri Tate itu diabadikan di Taman Finsbury, daerah permukiman di mana ia tumbuh.

“Saya memulai fotografi secara tidak sengaja. Seorang polisi berhenti di ujung jalan permukiman kami dan seorang laki-laki menusuknya dengan pisau.”

“Itulah bagaimana saya menjadi fotografer. Saya memotret gerombolan yang pergi ke sekolah bersama saya.”

“Saya tidak memilih fotografi, sepertinya dia yang memilih saya. Namun saya setia dan telah mempertaruhkan hidup saya selama 50 tahun,” kata McCullin.